Tuesday, April 16, 2019

Forum Mahasiswa Hukum Indonesia 2018


You chose this life, you wanted it until you didn't.

 


PEMAS
(Politik Eksekutif Menciptakan Anti SARA)

 Oleh:  Arnos D. V. Simarmata

Setiap negara di mana pun itu berada, selalu menjaga para pemimpinnya/bapak bangsanya untuk selalu dihormati dengan cara apapun. Di Vietnam punya Ho Chi Minh, di China punya Huaxia, di Taiwan punya Kaishek, di Korea Utara punya King Ile-Sung, nah di Indonesia ada bapak bangsa dari berbagai suku bangsa dan agama, tapi selalu di-bully dan dihina. Tidak layaklah kita sekarang mempolitisir suku, agama, ras, dan antargolongan karena sudah seharusnya kita harus memikirkan kemajuan Bangsa Indonesia yang mandiri tanpa adanya politik kotor dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk membuat negara terus jalan di tempat.
Mengajak masyarakat milenial untuk turut ikut serta di Pilpres 2019
Di Indonesia pemimpin-pemimpin di-bully, baik itu Presiden sekarang ataupun kepala-kepala daerah, tidak layak saja, karena setiap orang pasti punya kelemahan, kekurangan dan kekhilafan. Kita tidak perlu memuja-mujanya, tapi cukup menghormati saja. Perbandingannya Nabi pun tidak boleh dipuja-puja, karena Tuhan lah yang layak mendapatkan itu.

Di Taiwan misalnya, yaitu negara yang memiliki sejarah baru dalam peradaban modern, membangun negara dengan baik dan apik. Sekarang ada sekitar 350.000 WNI yang berada di Taiwan untuk bekerja, dan masyarakat Taiwan tidak mempermasalahkan itu. Sekarang di Indonesia sudah eranya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), jadi orang Indonesia kerja di luar Indonesia, orang luar negeri kerja di Indonesia. Hal ini karena dunia sekarang sudah tidak mengenal batas. Tidak perlu dipolitisir aneh-aneh kalau ada orang luar bekerja di Indonesia sepanjang dia memang mampu. Kenapa harus dilibatkan agamanya atau sukunya? Misal seperti Pilkada DKI Jakarta lalu, Paslon Ahok-Djarot dikalahkan oleh Paslon Anies-Sandi. Menurut saya hal itu karena sebagian besar kekalahannya didominasi oleh nuansa-nuansa SARA di dalamnya, tidak bisa kita pungkiri itu. Apalagi ditambah dengan ungkapan Pidato Ahok di Kep. Seribu yang dianggap menistakan agama, sungguh aneh. Dari sinilah isu-isu SARA mulai digencarkan oleh politikus-politikus yang haus akan tahta, bahkan sering melibatkan partai politik, organisasi masyarakat, dan tidak jarang kalangan mahasiswa sendiri.

Dari sisi lain, pada saat Pilkada Serentak lalu, misalnya di Sumatera Utara menurut saya masih menggunakan isu SARA dalam kemenangan salah satu Paslon. Jadi ilustrasinya, apabila salah satu paslon itu berasal dari Agama minoritas, baik itu calon gubernur ataupun wakilnya, itu yang menjadi titik lemahnya Paslon tersebut. Sejatinya yang jadi permasalahan bangsa Indonesia yaitu fokus dalam perbedaan agama, bukan yang lain-lain. Jadi, sepanjang ia mampu, tidak perlulah dipermasalahkan perbedaan suku atau agamanya. Untuk memajukan bangsa dan negara Indonesia, selama ia masih Warga Negara Indonesia, why not? Biarlah rakyat yang menentukan, karena hak itu dijamin oleh konstitusi negara kita, tidak perlu dipolitisir macam-macam.

Kita telah melakukan pesta demokrasi di tahun 2019. Sudah cukuplah isu-isu SARA itu digunakan. Belajar dari pengalaman, hal ini hanya akan memecah kekompakan masyarakat Indonesia. Ditambah lagi berbagai tekanan dari luar, hal ini akan terus memojokkan kita dan kita akan terus menjadi negara berkembang.

Sekarang infrastruktur sudah hampir lengkap, pembangunan mulai merata bukan hanya di Pulau Jawa saja, ahli hukum dan ahli ekonomi di Indonesia sudah cukup banyak, sudah selayaknya Indonesia menjadi negara yang mandiri, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) meskipun utang negara ya lumayan banyak. Hal ini bukanlah masalah besar, jika kita mau merajut kembali Indonesia sebagaimana sila ke 3 Pancasila.

Menurut hemat saya, ketakutan kita terjadinya isu SARA di Pesta Demokrasi 2019 yaitu dari kalangan netizen dan generasi milenial yang sudah mempunyai hak memilih, baik itu di dunia nyata dan dunia maya. Mereka pasti bisa diarahkan, pasti bisa diajak mendamaikan masyarakat, di sinilah diperlukan aparat hukum yang bisa mengayomi tanpa emosi. Hal-hal seperti inilah yang harus kita perjuangkan bersama-sama (masyarakat, mahasiswa, dan aparat) agar kesuksesan demokrasi di negeri ini benar-benar kita capai. Di mana letak keadilan yang digadang-gadang dengan kata “demokrasi” di Indonesia, jika isu SARA tidak bisa kita atasi bersama-sama. Untuk apa kita terlahir menjadi bangsa yang rakyatnya majemuk, kalau demokrasi kita terus terbatuk-batuk.

Semoga menjadi pelajaran untuk kita semua. Melakukan inovasi dan kontribusi membangun bangsa menuju Indonesia yang maju, mandiri, dan bersaing dalam perdagangan dunia. Menurut saya, perang dunia tidak mungkin lagi terjadi, yang ada hanyalah perang dagang di era revolusi industri 4.0. Salam perjuangan, hidup mahasiswa!

Resource: Krishna Murti (Divhubinter Polri)

TULISAN ESAI INI DIBUAT PADA NOVEMBER 2018, LOMBA NASIONAL FORUM MAHASISWA HUKUM INDONESIA. SEMOGA BERMANFAAT.







[PENGUMUMAN DELEGASI FMHI 2018] Selamat kepada peserta yang telah dinyatakan lolos dalam seleksi "Call for Essay". Selamat mempersiapkan diri dan sampai bertemu di kota Spirit of Java, Surakarta untuk mengikuti rangkaian acara FMHI 2018 pada 23-25 November 2018! . Untuk yang belum lolos tetap semangat karena masih bisa mengikuti Seleksi Batch 2 ! Kapan pendaftaran Batch 2 dibuka? Tunggu informasi selanjutnya ya! . Nb : Kepada peserta yang lolos diwajibkan konfirmasi kehadiran paling lambat 24 Oktober 2018 ke Official Account Line FMHI (@rqh8813o) dengan format DELEGASI FMHI 2018_NAMA_ASAL UNIV_HADIR/TIDAK HADIR. . FMHI 2018! Berani, Demokrasi, Solutif! #RawatKebhinekaanLawanIsuSARA #FMHI2018 #FHUNS #BEMFHUNS ————————————————–——— Forum Mahasiswa Hukum Indonesia 2018 -Twitter: @fmhi_2018 -Instagram: fmhiofficial -Line: @rqh8813o (pakai @) -Facebook: fmh.indonesia
Sebuah kiriman dibagikan oleh Forum Mahasiwa Hukum Indonesia (@fmhiofficial) pada

0 comments:

Post a Comment

Maksimal 500 kata ya teman-teman. Keep curious.