(Politik
Eksekutif Menciptakan Anti SARA)
Oleh: Arnos
D. V. Simarmata
Setiap
negara di mana pun itu berada, selalu menjaga para pemimpinnya/bapak bangsanya
untuk selalu dihormati dengan cara apapun. Di Vietnam punya Ho Chi Minh, di
China punya Huaxia, di Taiwan punya Kaishek, di Korea Utara punya King Ile-Sung,
nah di Indonesia ada bapak bangsa dari berbagai suku bangsa dan agama, tapi
selalu di-bully dan dihina. Tidak
layaklah kita sekarang mempolitisir suku, agama, ras, dan antargolongan karena
sudah seharusnya kita harus memikirkan kemajuan Bangsa Indonesia yang mandiri
tanpa adanya politik kotor dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk
membuat negara terus jalan di tempat.
![]() |
Mengajak masyarakat milenial untuk turut ikut serta di Pilpres 2019 |
Di Taiwan misalnya, yaitu negara yang memiliki
sejarah baru dalam peradaban modern, membangun negara dengan baik dan apik. Sekarang
ada sekitar 350.000 WNI yang berada di Taiwan untuk bekerja, dan masyarakat
Taiwan tidak mempermasalahkan itu. Sekarang di Indonesia sudah eranya MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN), jadi orang Indonesia kerja di luar Indonesia, orang
luar negeri kerja di Indonesia. Hal ini karena dunia sekarang sudah tidak
mengenal batas. Tidak perlu dipolitisir aneh-aneh kalau ada orang luar bekerja
di Indonesia sepanjang dia memang mampu. Kenapa harus dilibatkan agamanya atau
sukunya? Misal seperti Pilkada DKI Jakarta lalu, Paslon Ahok-Djarot dikalahkan
oleh Paslon Anies-Sandi. Menurut saya hal itu karena sebagian besar
kekalahannya didominasi oleh nuansa-nuansa SARA di dalamnya, tidak bisa kita
pungkiri itu. Apalagi ditambah dengan ungkapan Pidato Ahok di Kep. Seribu yang
dianggap menistakan agama, sungguh aneh. Dari sinilah isu-isu SARA mulai
digencarkan oleh politikus-politikus yang haus akan tahta, bahkan sering
melibatkan partai politik, organisasi masyarakat, dan tidak jarang kalangan
mahasiswa sendiri.
Dari sisi lain, pada saat Pilkada Serentak
lalu, misalnya di Sumatera Utara menurut saya masih menggunakan isu SARA dalam
kemenangan salah satu Paslon. Jadi ilustrasinya, apabila salah satu paslon itu
berasal dari Agama minoritas, baik itu calon gubernur ataupun wakilnya, itu
yang menjadi titik lemahnya Paslon tersebut. Sejatinya yang jadi permasalahan bangsa
Indonesia yaitu fokus dalam perbedaan agama, bukan yang lain-lain. Jadi,
sepanjang ia mampu, tidak perlulah dipermasalahkan perbedaan suku atau agamanya.
Untuk memajukan bangsa dan negara Indonesia, selama ia masih Warga Negara Indonesia,
why not? Biarlah rakyat yang
menentukan, karena hak itu dijamin oleh konstitusi negara kita, tidak perlu
dipolitisir macam-macam.
Kita telah melakukan pesta demokrasi di
tahun 2019. Sudah cukuplah isu-isu SARA itu digunakan. Belajar dari pengalaman,
hal ini hanya akan memecah kekompakan masyarakat Indonesia. Ditambah lagi
berbagai tekanan dari luar, hal ini akan terus memojokkan kita dan kita akan terus
menjadi negara berkembang.
Sekarang infrastruktur sudah hampir
lengkap, pembangunan mulai merata bukan hanya di Pulau Jawa saja, ahli hukum
dan ahli ekonomi di Indonesia sudah cukup banyak, sudah selayaknya Indonesia
menjadi negara yang mandiri, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) meskipun
utang negara ya lumayan banyak. Hal ini bukanlah masalah besar, jika kita mau
merajut kembali Indonesia sebagaimana sila ke 3 Pancasila.
Menurut hemat saya, ketakutan kita
terjadinya isu SARA di Pesta Demokrasi 2019 yaitu dari kalangan netizen dan
generasi milenial yang sudah mempunyai hak memilih, baik itu di dunia nyata dan
dunia maya. Mereka pasti bisa diarahkan, pasti bisa diajak mendamaikan
masyarakat, di sinilah diperlukan aparat hukum yang bisa mengayomi tanpa emosi.
Hal-hal seperti inilah yang harus kita perjuangkan bersama-sama (masyarakat,
mahasiswa, dan aparat) agar kesuksesan demokrasi di negeri ini benar-benar kita
capai. Di mana letak keadilan yang digadang-gadang dengan kata “demokrasi” di
Indonesia, jika isu SARA tidak bisa kita atasi bersama-sama. Untuk apa kita
terlahir menjadi bangsa yang rakyatnya majemuk, kalau demokrasi kita terus terbatuk-batuk.
Semoga menjadi pelajaran untuk kita semua.
Melakukan inovasi dan kontribusi membangun bangsa menuju Indonesia yang maju,
mandiri, dan bersaing dalam perdagangan dunia. Menurut saya, perang dunia tidak
mungkin lagi terjadi, yang ada hanyalah perang dagang di era revolusi industri
4.0. Salam perjuangan, hidup mahasiswa!
Resource: Krishna
Murti (Divhubinter Polri)
TULISAN ESAI INI DIBUAT PADA NOVEMBER 2018, LOMBA
NASIONAL FORUM MAHASISWA HUKUM INDONESIA. SEMOGA BERMANFAAT.
0 comments:
Post a Comment
Maksimal 500 kata ya teman-teman. Keep curious.